Menciptakan Pertanian Mandiri
Menciptakan Pertanian Mandiri
Di negara kita, tanggal yang ditentukan
untuk memperingati petani dan pangan jatuh di waktu yang tidak terlampau jauh.
Hari Tani Nasional berada di tanggal 24 September dan Hari Pangan Sedunia
dirayakan setiap tanggal 16 Oktober. Jeda waktu yang kurang dari sebulan ini
seolah mengingatkan bahwa keterkaitan antara pangan dan petani sangatlah erat.
Tentu, karena petanilah sumber dari jenis pangan yang dikonsumsi dalam
keseharian kita.
Kesejahteraan Petani = Kedaulatan Pangan
Dalam setiap peringatan Hari Pangan,
maka akan mudah sekali menemukan bahasan mengenai isu pangan yang dihadapi
Indonesia. Di antaranya adalah kekhawatiran jumlah produksi domestik yang tidak
mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga bergantung pada impor yang
harganya tinggi dan berubah-ubah di pasaran. Jika kemudian dicari kebijakan
sebagai solusinya, maka kebijakan pangan setidaknya harus berlandaskan 3 hal
berikut; ketahanan pangan (food security), swasembada pangan (food
self-sufficiency), dan kedaulatan pangan (food sovereignity).
Ketahanan
pangan adalah kemampuan negara dalam menjamin akses pangan kapan pun
dibutuhkan, baik di waktu-waktu biasa, pada saat demand tinggi,
dan terutama ketika masa sulit. Sedangkan swasembada pangan adalah upaya menghasilkan pangan
sendiri dalam jumlah yang cukup. Saat ini, kebijakan pangan negara kita sudah
mengarah pada kedua hal tersebut. Namun, poin yang terakhir justru sering
terlupakan, yaitu kedaulatan
pangan yang mana merupakan bentuk dukungan kepada petani untuk
memiliki akses dan kontrol yang lebih terhadap sumber-sumber pertanian. Dalam
kata lain, menjadikan petani selayaknya raja di negara agraris ini.
Lebih dari 50% tenaga kerja di Indonesia
terserap ke pertanian, yang artinya, secara jumlah, petani di negara kita ada
banyak sekali. Namun, sebagian besar dari jumlah tersebut masih tergolong
petani kecil. Ciri-cirinya antara lain memiliki lahan pertanian yang sempit
atau bahkan tidak ada sama sekali (penyewa lahan), modal terbatas, kontrol yang
minim akan sumber daya dan penjualan sehingga tidak jarang terjebak dalam
sistem rentenir. Petani kecil juga memiliki tingkat pendidikan yang rendah
sehingga dalam perkembangannya pun masih bersifat konvensional dan akhirnya
kesejahteraannya seringkali terhambat. Tantangan lain yang dihadapi kaum petani
adalah regenerasi. Saat ini, petani berusia di atas 40 tahun
masih mendominasi. Di Jawa Barat, misalnya, kurang dari 20% petani yang berusia
30-40 tahun, sisanya berada di rentang 40-60 tahun atau bahkan lebih dari 60
tahun. Profesi petani belum banyak diminati oleh generasi muda sehingga
pertanian masih mengandalkan “pemain lama”. Meskipun begitu, saat ini mulai
bermunculan beberapa anak muda yang menjawab tantangan regenerasi ini dengan
beraksi nyata di sektor pertanian.
Petani Muda. Semangat Baru.
Selain yang sebelumnya disebutkan,
faktor yang juga cukup mengkhawatirkan dari pertanian adalah semakin
berkurangnya lahan yang dapat dikembangkan. Urbanisasi menggerus lahan
pertanian tapi di saat yang sama juga menuntut produksi tinggi demi memenuhi
kebutuhan pangan warga yang jumlahnya terus bertambah dari tahun ke tahun.
Lahan seperti sawah dan ladang berpotensi overused, dimana nutrisi
haranya secara pasti menurun karena dipakai terus menerus. Akuakultur adalah lini
pertanian yang meninimalkan potensi tersebut karena dalam hal lahan, lingkungan
budidaya akuakultur cenderung lebih stabil. Dalam area yang lebih sedikit juga,
produksi dari budidaya akuakultur lebih banyak sehingga mampu mengatasi
kekhawatiran produksi domestik untuk ketersediaan pangan.
Hal ini pula lah yang dilihat oleh para pembudidaya
ikan seperti Angga Kurniawan, Reza Pahlevi, dan Yourizal
Nur Ahmadi. Ketiganya adalah generasi muda di bawah 30 tahun yang
menghabiskan tenaga dan pikirannya di agribisnis karena yakin dengan prospek
sektor ini ke depannya.
Angga Kurniawan
Sebelum mengenyam pendidikan sarjana
jurusan Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya di IPB, Angga
Kurniawan (29) sudah berkecimpung di banyak kegiatan akuakultur,
seperti praktek kerja di industri pembenihan udang, mendirikan pemeliharaan
larva ikan patin dan ikan hias, sampai melakukan riset pakan ikan nila. Setahun
setelah lulus, Angga bersama rekan-rekannya mendirikan PT. Laju Banyu Semesta yang
berlokasi di Bogor. Selain budidaya ikan sidat, perusahaan yang dirintis tahun
2013 ini juga membuat pakan dan mengolah ikan sidatnya untuk pasokan ekspor dan
pasar lokal. Keputusannya terjun di dunia perikanan ini berawal saat memilih
jurusan di SMA. Saat itu Angga memastikan bahwa selain passion, bidang
pekerjaannya di masa depan haruslah memiliki prospek.
Prinsipnya, semua orang—tidak melihat
usia, golongan, dan strata jabatan—butuh makan. Sehingga bidang pertanian akan
sangat dibutuhkan selama manusia masih perlu makan. Terlebih perikanan, yang menjadi
sumber protein sehat dibandingkan daging hewan ternak. “Ikan kaya akan omega 3,
memiliki 6 sumber protein menyehatkan, kaya mineral, dan masih banyak lagi,
terutama sidat. Tren ke depan akan bergeser, perikanan akan menjadi andalan
penyedia protein sehat. Contoh konkritnya sekarang negara-negara maju punya
nilai konsumsi makan ikan lebih tinggi dibandingkan negara berkembang,” jelas
Angga.
Pembenihan ikan sidat di PT Laju Banyu
Semesta
Semangat yang sama juga bisa ditemukan
pada Reza Pahlevi (28), yang memulai usahanya di bidang
agribisnis dengan pemikiran mendalam mengenai kebutuhan bangsa akan pangan
sehat. Setelah memulai budidaya lele, Reza kemudian mewujudkan ide yang lebih
besar dengan menggagas sebuah manajemen usaha agribisnis dengan prinsip
kerjasama syariah—yang kemudian dinamainya INAGROW. Reza melihat ada banyak potensi
agribisnis di Indonesia yang terhambat akibat pemodalan yang tidak memadai.
Menurutnya, pembiayaan untuk dunia perikanan yang ada saat ini kurang
bersahabat.
Contohnya dalam proses kredit UKM,
pelaku usaha budidaya tidak bisa mendapatkan jangka waktu pengembalian selama 5
tahun karena sumber pendapatannya dianggap sangat berisiko. Akibatnya petani
yang tidak memiliki modal tidak sempat mengembangkan usahanya dengan baik.
Belum lagi adanya pungli dan premanisme ketika hasil budidaya hendak
didistribusikan. Oleh karenanya, INAGROW dijalankan
Reza sebagai suatu pola kemitraan yang adil dan sesuai syariat Islam. Saat ini,
selain melakukan agribisnisnya sendiri di budidaya lele, Reza dan
kawan-kawannya juga berperan partner bisnis bagi pelaku usaha agrikultur di
pasar tradisional di Bogor.
Reza dan kambing ternak di INAGROW
Reza Pahlevi saat panen lele di INAGROW
Sedangkan menurut Yourizal Nur
Ahmadi (24), permasalahan lain yang dihadapi akuakultur Indonesia
adalah tingginya harga pakan. “Kebanyakan pakan diimpor dari luar negeri. Kalau
bahannya dibuat dari negeri kita sendiri, maka harga pakan bisa ditekan
sehingga untungnya pun lebih besar. Pada akhirnya, bisa menarik minat
masyarakat untuk beternak ikan karena sangat menguntungkan,” papar pemuda
Kediri ini. Sama seperti Angga dan Reza, Ical—nama panggilan Yourizal—juga
memulai berbudidaya sejak usia muda, sekitar 18 tahun. Selesai berkuliah di
jurusan Peternakan, Ical melanjutkan usahanya hingga saat ini ia mengelola 20
kolam pembesaran lele serta 7 kolam pembibitan gurame dan lele. Untuk
menyiasati soal harga pakan, Ical berinisiatif untuk menggunakan pakan tambahan
yang dibuatnya sendiri dari limbah telur puyuh yang digiling dan dicampur
pelet. Hasilnya cukup bagus, yaitu dengan 30 kg pakan bisa memproduksi 33 – 34
kg daging ikan.
Yourizl Nur Ahmadi di kolam lelenya di
Kediri
Terkait pandangan pertanian adalah
“dunia kolot” karena banyaknya petani berusia tua, Ical menyangkal bahwa bagi
anak muda sepertinya, perikanan adalah dunia yang menyenangkan. Berelasi dengan
orang-orang dan berkesempatan belajar dari mereka, melihat ikan yang bergerak
lincah pada saat diberi makan, dan pada masa panen adalah saat-saat yang
menyenangkan sebagai petani ikan. Ia berharap dunia perikanan ke depannya
semakin diminati kalangan anak muda.
Dari sudut pandang Angga, permasalahannya terletak
pada para pelaku yang ada saat ini juga. Praktek budidaya yang dilakukan petani
kebanyakan bukan berdasarkan riset dan teknologi, melainkan dari pengalaman
turun temurun sehingga tidak terlihat sisi keilmuan dan prestis profesinya. Pun
karena acuannya kurang akurat maka kegagalan yang terjadi berpotensi terulang
terus dalam beberapa siklus tanpa bisa dianalisa. Budaya tradisional ini juga
salah satu yang menjadikan para pemuda enggan untuk menerapkan ilmunya di dunia
agrikultur.
Reza sendiri sempat menjalani pekerjaan yang tidak
berhubungan dengan latar belakang pendidikannya di Teknologi Pangan, tapi
kemudian panggilan hatinya menunjukkan jalan untuk fokus di agribisnis. Satu
suara dengan Angga dan Ical, Reza pun berharap mampu untuk menjaring minat
pemuda untuk mengembangkan potensi agribisnis dan meningkatkan daya dukung bagi
masyarakat agribisnis. Infrastruktur seperti warehousing dan
logistik, serta financing yang pro growth untuk
petani adalah dua hal penting menurut Reza untuk kemajuan pertanian.
Ketiga petani muda di atas menggariskan
bahwa demi mencapai kedaulatan pangan, petani dan masyarakat agrikultur butuh
dukungan dari berbagai sisi. Di antaranya adalah sistem pemodalan, sarana,
keilmuan teknologi, dan kebijakan mengenai harga yang berputar di siklus
pertanian. Dengan sistem yang kondusif, maka ke depannya baik generasi tua dan
muda dapat saling bahu-membahu membawa kesejahteraan bagi dunia pertanian yang
mandiri.
Tanggal rilis :
04 September 2017
Nama : Arina Manasikana
NIM : 14613
Nama : Arina Manasikana
NIM : 14613
Nilai penyuluh
BalasHapusIde: Mengkhawatirkan dari pertanian adalah semakin berkurangnya lahan yang dapat dikembangkan. Urbanisasi menggerus lahan pertanian tapi di saat yang sama juga menuntut produksi tinggi demi memenuhi kebutuhan pangan warga yang jumlahnya terus bertambah dari tahun ke tahun. Angga Kurniawan, Reza Pahlevi, dan Yourizal Nur Ahmadi. Ketiganya adalah generasi muda di bawah 30 tahun yang menghabiskan tenaga dan pikirannya di agribisnis karena yakin dengan prospek sektor ini ke depannya.
Sasaran : Petani usia lanjut pada khususnya dan petani semua umur pada umumnya
Manfaat : Membantu lahan pertanian agar terjaga dari kegusuran dan mengahasilkan petani yang mandiri dan kreatif.
Nilai berita :
1. Proximity : Dekat dengan petani
2. Importance : Pentingnys generasi muda pada pertanian dan lahannya.
3. Policy : Berjalan dengan kebijakan pemerintah yang mendukung generasi muda dalam berkarya.
4. Conflict : Petani yang banyak dan melimpah hanya saja lahan yang terbatas.
5. Human interest : Perhatian generasi muda Indonesia dan meningkatkan minat bertani generasi muda Indonesia dan meningkatnya petani mandiri dan kreatifitas.
Novanto Purba Adji Adumtar
15/379726/PN/14180